Sabtu, 28 April 2012

DAMPAK KENAIKAN BBM DARI ASPEK UU PERLINDUNGAN KONSUMEN


Dalam kondisi terhadap rencana kenaikan bbm seperti ini, dibutuhkan intervensi langsung pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga-harga yang terjadi. "Karena menurut saya kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini adalah murni permainan dari para spekulan (para pedagang dan distributor)," ujar Ketua Fraksi PKB Marwan Ja’far dalam keterangannya, di Jakarta, Senin (2/4/2012). Menurut dia, mekanisme intervensi pemerintah dalam meredam spekulan ini bisa secara tegas dilakukan dengan memberikan sanksi bagi pedagang dan distributor yang sengaja menaikkan harga-harga barang. “Misalnya dengan mencabut izin usaha dan lain-lain,” terangnya. Sebab, menurut dia, jika harga yang digerakan naik oleh para spekulan, yaitu pegadang besar dan distributor ini bisa dipaksa menurunkan harga-harga tersebut, akan berdampak pada harga jual para pengecer menjadi lebih murah mengikuti harga distributor.

Sehingga kebutuhan barang pokok yang dibeli konsumen bisa kembali ke harga normal. Dalam kaitan ini intervensi pemerintah menunjukkan adanya keberpihakan kepada masyarakat dengan cara perlindungan terhadap konsumen. Hal itu sesuai dengan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 ini Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. Sedangkan dalam mendorong turunnya harga kebutuhan pokok tersebut jika pemerintah hanya melakukannya dengan Operasi Pasar atau Pasar Murah saja seperti kebiasaan selama ini dipastikan tidak akan efektif.

KENAIKAN BBM DARI ASPEK UUD KONSUMEN


Di tengah hiruk-pikuk perdebatan politis dan ekonomis kebijakan harga BBM, semua pihak terpaku pada Undang-Undang tentang APBN 2012 saja. Seolah hanya itu undang-undang yang layak dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan harga BBM. Padahal, secara normatif, ada undang-undang yang terlupakan (sengaja dilupakan), yakni UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Seharusnya, berbasis UU Energi, maka tidak akan terjadi perdebatan yang tidak diperlukan ihwal harga BBM. Sebab, UU Energi inilah yang seharusnya menjadi rujukan utama (“undang-undang payung”) bagi pemerintah dan DPR dalam menggulirkan kebijakan energi nasional, termasuk dalam hal kebijakan harga BBM. Dengan gamblang UU Energi menyebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan (Pasal 7 ayat 1). Boleh jadi pasal semacam ini akan dihantam dengan isu pasal neolib, alias kental dengan kepentingan asing. Lagi-lagi, klaim semacam ini juga kurang tepat. Sebab, Pasal 7 ayat 1 tidak serta-merta hanya mengacu pada keekonomian an sich, tetapi diikuti dengan kata “berkeadilan”. Konteks berkeadilan dimaksud dengan gamblang dijawab dengan ketentuan berikutnya bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu (Pasal 7 ayat 2).
Dengan demikian, sekalipun basisnya harga keekonomian, tidak kemudian harga energi mengharamkan subsidi. Tetapi, amanat UU Energi juga menegaskan bahwa subsidi hanya diberikan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu. Pertanyaan krusialnya, siapakah yang dimaksud kelompok masyarakat yang tidak mampu? Jelas bukan pengguna kendaraan pribadi yang dimaksud, yang selama ini menikmati lebih dari 90 persen BBM bersubsidi. Jika mengacu pada standar Badan Pusat Statistik, maka yang dimaksud kelompok masyarakat yang tidak mampu (miskin) adalah masyarakat yang berpenghasilan Rp 18.500 per hari. Atau, di bawah 2 US$ per hari kalau mengacu pada standar World Bank. Sangat tidak masuk akal kalau pengguna kendaraan pribadi digolongkan sebagai masyarakat yang tidak mampu (miskin), sekalipun itu pengguna kendaraan pribadi roda dua (sepeda motor).
Namun Selain pembatasan BBM, langkah lain yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut tanpa ada pembatasan. Artinya tidak perlu ada klasifikasi konsumen. Semua bisa membeli BBM bersubsidi dengan harga yang telah dinaikkan. Akan tetapi opsi kenaikan ini tampaknya telah dimentahkan sendiri oleh pemerintah lewat UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang  dalam Pasal 7 Ayat 6 menyatakani, “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Hal ini membuat pemerintah menjadi leluasa untuk memilih opsi pembatasan BBM bersubsidi dibanding menaikan harganya. Padahal, penyebab utama kegagalan subsidi pemerintah sejak dulu adalah karena tidak tepatnya sasaran subsidi tersebut, di mana yang menikmatai BBM bersubsidi tidak hanya rakyat miskin, tapi kebanyakan malah orang kaya. Ketidaktepatan sasaran ini bukan tidak mungkin bakal berulang dalam program pembatasan BBM bersubsidi, oleh karena tidak adanya kriteria yang jelas siapa yang pantas disebut masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, bila indikatornya hanyalah kepemilikan mobil secara umum.


http://www.ylki.or.id/politisasi-versus-harga-keekonomian-bbm.html
http://pasardana.com/tag/opini/

RENCANA KENAIKAN BBM DARI SEGI EKONOMI (KEUNTUNGAN DAN KERUGIANNYA)



Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai 1 April 2012 ini cukup menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat dari pusat sampai daerah. Hal tersebut masih wajar sepanjang tidak anarkis, karena antara pemerintah dan rakyat masing-masing punya argumentasi dengan maksud saling menimbang dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat. Namun dalam hal ini tentu kita melihat dari dampak aspek ekonominya, baru direncanakan saja sudah ada dampak negative yang timbul. "Dampak kenaikan BBM sudah dirasakan masyarakat bawah, dari mulai kenaikan bahan-bahan pokok juga kelangkaan premium, belum lagi adanya mata rantai mafia yang mengambil keuntungan dari isu kenaikan BBM ini," kata Ketua Umum PB PMII Addin Jauharudin melalui pesan singkat pada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (6/3). Dan dikutip dari tribunnews.com ditemukan dampak yang sudah dirasakan oleh Nelayan Pantai Labu, Deliserdang, Sumatera Utara, sudah merasakan dampak kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak), dalam beberapa waktu terakhir ini.
Kodinator HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), Sanusi mengatakan walaupun masih sekedar wacana di tingkat pusat kenaikan BBM para nelayan sudah dampak kenaikan khususnya bahan-bahan perawatan perahu.
" Nelayan selalu kena imbasnya, walaupun minyak belum naik tapi barang-barang lain sudah mengalami kenaikan"ujar Sanusi. Dikatakan nelayan saat ini sudah merasakan kenaikan berupa kayu. Kayu merantu sekarang harganya mencapai Rp 130 ribu per keping, padahal awalnya  Rp 110 ribu. Begitu juga dengan kayu leban harganya mencapai Rp 150 ribu perpotong padahal harga awalnya hanya Rp 75 ribu. Paku harga awalnya Rp 25 ribu menjadi Rp 28 ribu.

Peluang Investasi di Tengah Rencana Kenaikan BBM
 
           Dalam jangka pendek, kenaikan tingkat inflasi tidak akan dapat dihindari, meskipun dalam jangka panjang pasti akan terjadi normalisasi kembali sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh permintaan konsumsi domestik Indonesia. Yang jadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kenaikan tingkat inflasi ini berdampak negatif pada instrument-instrumen investasi di pasar modal? Dalam jangka pendek, jawabannya adalah benar. Sentimen negatif sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi pergerakan harga aset-aset keuangan baik yang berbentuk saham maupun obligasi. Secara teori, kenaikan tingkat inflasi akan berdampak pada penurunan tingkat pendapatan secara riil baik dari sisi perusahaan sebagai emiten maupun dari sisi investor sebagai pembeli saham atau obligasi perusahaan tersebut.
Namun apabila pemerintah telah melakukan antisipasi dengan memberikan kompensasi atas pencabutan subsidi BBM tersebut dalam bentuk lain ke masyarakat, justru kenaikan BBM tersebut akan berdampak positif dalam jangka panjang melalui pertumbuhan ekonomi yang akan memberikan efek normalisasi pada sisi tingkat inflasi. Karena ketimbang memberikan subsidi pada para pemilik kendaraan bermotor, terutama pemilik kendaraan roda empat yang notabene memiliki daya beli yang lebih tinggi, maka akan lebih bermanfaat bagi perekonomian secara umum apabila subsidi BBM dan Tarif Dasar Listrik tersebut pada pembangunan infrastruktur yang pada hakikatnya akan memberikan manfaat kepada masyarakat yang lebih luas.

Oleh karena itu, koreksi yang terjadi pada pasar saham dan obligasi hendaknya tidak dilihat sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan bagi para investor dan pemegang modal. Penurunan harga-harga tersebut harus dilihat sebagai peluang investasi guna untuk menurunkan biaya rata-rata perolehan (average cost) pada portofolio yang dimiliki oleh para investor. Apalagi banyak dari para analis yang telah menghitung bahwa pasar saham dan obligasi Indonesia saat ini terbilang sudah tidak murah lagi. Walaupun beberapa analis lainnya mengatakan bahwa valuasi pasar saham Indonesia dan tingkat imbal hasil obligasinya saat ini sudah berada pada posisi nilai wajarnya, sehingga secara relatif posisi valuasinya sama dengan pasar saham dan obligasi di tingkat regional maupun internasional.

http://www.cimb-principal.co.id/News-@-Peluang_Investasi_Di_tengah_kenaikan_BBM_dan_TDL.aspx
http://www.tribunnews.com/2012/03/06/nelayan-sudah-merasakan-dampak-rencana-kenaikan-bbm

Kamis, 19 April 2012

MULAINYA SEJARAH HUKUM DI INDONESIA


Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
1.       Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.

a.         Periode VOC

Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi di masa itu.

b.         Periode liberal Belanda

Pada 1854 di Hindia Belanda diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen) dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.

c.         Periode Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang

Kebijakan Politik Etis dikeluarkan pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1) Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang pribumi.

2.         Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi Liberal

a.         Periode Revolusi Fisik

Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.

b.         Periode Demokrasi Liberal

UUDS 1950 yang telah mengakui hak asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.

3.       Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde Baru

a.         Periode Demokrasi Terpimpin

Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum ?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan kontekstual.

b.         Periode Orde Baru

Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru ?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia; di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.

4.       Periode Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru, bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih tak tentu arahnya.
sumber



PENGAKUAN HUKUM UNTUK HAK KEBENDAAN ATAU HAK MILIK



A. Dalam Perspektif Hukum Islam
A.I. Hak milik umum
Hak milik umum adalah hukum syar`I yang terkandung dalam suatu barang atau kegunaan yang menuntut adanya kesempatan seluruh manusia secara umum atau salah seorang diantara mereka untuk memanfaatkan dan menggunakan dengan jalan penguasaan. Menurut Al-Kailani hak milik umum ini sama saja dengan hak milik negara. Berbeda dengan Zallum yang membedakan antara hak milik umum dan hak milik negara meskipun keduanya dikelola oleh negara. Menurutnya, hak milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan oleh negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang untuk mengambil dan memanfaatkannya, seperti: air, tambang, padang rumput. Sedangkan dalam hak milik negara, negara berhak untuk memberikan hak tersebut kepada siapapun yang dikehendaki sesuai dengan kebijakan negara, seperti: tanah tak bertuan, padang pasir, gunung.
Sumber-sumber hak milik umum berkisar pada: wakaf, tanah hima (tanah tak bertuan yang diputuskan oleh negara penggunaanya bagi masyarakat umum), barang tambang , kebutuhan primer seperti air dan rumput, zakat, pajak, seperlima harta rampasan perang, dan lain-lain. Seperti halnya dalam hak milik pribadi, hak milik umum juga terdapat di dalamnya aturan main dalam penggunaannya. Dan aturan inti yang harus ditepati adalah penggunaan hak milik umum tidak boleh merugikan pihak lain yang juga berhak atas hak ini, dan juga tidak boleh melanggar maslahat umum. Negara sebagai pengelola hak milik umum tidak boleh memperluas cakupan hak milik umum yang telah ditetapkan oleh syariat, semisal negara tidak boleh memperluas hak milik umum yang berasal dari zakat untuk selain 8 golongan yang telah ditentukan oleh syariat. Di sisi lain, negara diperbolehkan untuk memperluas atau mempersempit cakupan hak ini sesuai dengan maslahat umum. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika mengkhususkan padang rumput yang tak bertuan untuk kuda-kuda tentara.

A.II. Hak milik pribadi
Definisi hak milik pribadi dalam ekonomi islam adalah suatu hukum syariat atas suatu barang atau manfaat yang memberikan hak kepada orang yang dinisbatkan kepadanya untuk menggunakan barang atau manfaat tersebut. Dari definisi ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa timbulnya hak milik bukan dari dzatnya suatu barang, melainkan timbul karena izin Syari` (Allah).

B. Dari Segi Hukum Indonesia
Untuk menciptakan kepastian hukum  selain diperlukan perangkat hukum yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum sebagai kaidah penilai[1]. 
Dengan adanya ketentuan  yang tumpang tindih, demikian pula banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka  perlu pula dilakukan penelitian mengenai prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah, prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dan penormaannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.[2] Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:
1.      Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek
2.      Adanya bagian-bagian atau  komponen-komponen
3.      Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4.      Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan tersebut
Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem[3]. Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai tujuan.  Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.[4]
Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda  sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas  bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan  Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.
Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”[5]. 
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah.  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa  hak ulayat adalah  kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa yang pada tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.[6]
Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:[7]
  1. Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak dasar  manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh  bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika ini terjadi maka merupakan bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam hal seseorang  mau  melepas haknya maka mereka harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas  pengorbanannya tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan terhadap hak-hak orang lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua peraturan yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika pendelegasian kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan  konflik kepentingan.

Wewenang  pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan, sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.[8]





[1] J.J.H. Bruggink,, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 193
[2] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet.  Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 48
[3] Ibid. h. 49
[4] Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat, Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan, 2002 h.58.

Pengikut