Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang
waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah oleh “Manusia
Jawa” pada masa sekitar 500.000 tahun yang lalu. Periode dalam sejarah
Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: era pra kolonial, munculnya
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama
mengandalkan perdagangan; era kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama
Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda
selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20;
era kemerdekaan, pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya
Soekarno (1966); era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto
(1966–1998); serta era reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
1. Periode Kolonialisme
Periode
kolonialisme terbagi ke dalam tiga tahapan besar, yakni: periode VOC, Liberal
Belanda dan Politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum
yang diterapkan bertujuan untuk:
1) Kepentingan ekspolitasi ekonomi
demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
2) Pendisiplinan rakyat pribumi dengan
cara yang otoriter; dan
3) Perlindungan terhadap pegawai VOC,
sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap
orang-orang Belanda atau Eropa. Sedangkan bagi pribumi, yang berlaku adalah
hukum-hukum yang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata
pemerintahan dan politik pada zaman itu telah meminggirkan hak-hak dasar rakyat
di nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat pribumi
di masa itu.
b. Periode liberal Belanda
Pada 1854 di Hindia Belanda
diterbitkan Regeringsreglement (selanjutnya disebut RR 1854) atau Peraturan
tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) yang tujuan utamanya melindungi
kepentingan kepentingan usaha-usaha swasta di negeri jajahan dan untuk pertama
kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi dari
kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan. Hal ini dapat ditemukan dalam (Regeringsreglement)
RR 1854 yang mengatur tentang pembatasan terhadap eksekutif (terutama Residen)
dan kepolisian, dan jaminan terhadap proses peradilan yang bebas.
Otokratisme administrasi kolonial
masih tetap berlangsung pada periode ini, walaupun tidak lagi sebengis
sebelumnya. Namun, pembaruan hukum yang dilandasi oleh politik liberalisasi
ekonomi ini ternyata tidak meningkatkan kesejahteraan pribumi, karena
eksploitasi masih terus terjadi, hanya subyek eksploitasinya saja yang
berganti, dari eksploitasi oleh negara menjadi eksploitasi oleh modal swasta.
c. Periode Politik Etis Sampai
Kolonialisme Jepang
Kebijakan Politik Etis dikeluarkan
pada awal abad 20. Di antara kebijakan-kebijakan awal politik etis yang
berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: 1) Pendidikan untuk
anak-anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; 2) Pembentukan
Volksraad, lembaga perwakilan untuk kaum pribumi; 3) Penataan organisasi
pemerintahan, khususnya dari segi efisiensi; 4) Penataan lembaga peradilan,
khususnya dalam hal profesionalitas; 5) Pembentukan peraturan
perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum. Hingga runtuhnya
kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan: 1)
Dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga-lembaga
peradilan; 2) Penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang
disamakan, Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan Pribumi.
Masa pendudukan Jepang pembaharuan
hukum tidak banyak terjadi seluruh peraturan perundang-undangan yang tidak
bertentangan dengan peraturan militer Jepang, tetap berlaku sembari
menghilangkan hak-hak istimewa orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Beberapa
perubahan perundang-undangan yang terjadi: 1) Kitab UU Hukum Perdata, yang
semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang setara, diberlakukan juga
untuk orang-orang Cina; 2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam
peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku. Di bidang peradilan,
pembaharuan yang dilakukan adalah: 1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata
peradilan; 2) Unifikasi kejaksaan; 3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan
pedesaan/lapangan; 4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum; 5) Pengisian secara
massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan orang-orang
pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik Sampai Demokrasi
Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat
berpengaruh di masa awal ini adalah pembaruan di dalam bidang peradilan, yang
bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi: 1) Meneruskan unfikasi badan-badan
peradilan dengan melakukan penyederhanaan; 2) Mengurangi dan membatasi peran
badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali badan-badan pengadilan agama
yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 yang telah mengakui hak
asasi manusia. Namun pada masa ini pembaharuan hukum dan tata peradilan tidak
banyak terjadi, yang ada adalah dilema untuk mempertahankan hukum dan peradilan
adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka
terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Kemudian yang
berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan
dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara,
yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan.
3. Periode Demokrasi Terpimpin Sampai Orde
Baru
a. Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan Demokrasi
Terpimpin yang dianggap sangat berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan
adalah: 1) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukan MA dan
badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif; 2) Mengganti lambang hukum
?dewi keadilan? menjadi ?pohon beringin? yang berarti pengayoman; 3) Memberikan
peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara langsung atas
proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965; 4) Menyatakan
bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku kecuali sebagai rujukan,
sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional dan
kontekstual.
b. Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan
tata peradilan di bawah Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam
proses politik dan pemerintahan. Di bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru
?membekukan? pelaksanaan UU Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk
beberapa undang-undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia;
di antaranya adalah UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, dan UU
Pertambangan. Selain itu, orde baru juga melakukan: 1) Penundukan
lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; 2) Pengendalian sistem pendidikan dan
penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum; Singkatnya, pada
masa orde baru tak ada perkembangan yang baik dalam hukum Nasional.
4. Periode
Pasca Orde Baru (1998 – Sekarang)
Sejak pucuk eksekutif di pegang
Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi empat kali amandemen UUD RI. Di
arah perundang-undangan dan kelembagaan negara, beberapa pembaruan formal yang
mengemuka adalah: 1) Pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan; 2) Pembaruan
sistem hukum dan hak asasi manusia; dan 3) Pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama orde baru, yaitu KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) masih kokoh mengakar pada masa pasca orde baru,
bahkan kian luas jangkauannya. Selain itu, kemampuan perangkat hukum pun
dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para pelaku semacam itu. Aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah advokat) dilihat
masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum, hal ini dapat
dilihat dari ketidakmampuan Kejaksaan Agung meneruskan proses peradilan mantan
Presiden Soeharto, peradilan pelanggaran HAM, serta peradilan para konglomerat
hitam. Sisi baiknya, pemberdayaan rakyat untuk menuntut hak-haknya dan
mengembangkan sumber daya hukumnya secara mandiri, semakin gencar dan luas
dilaksanakan. Walaupun begitu, pembaruan hukum tetap terasa lambat dan masih
tak tentu arahnya.
sumber