Sabtu, 28 April 2012

KENAIKAN BBM DARI ASPEK UUD KONSUMEN


Di tengah hiruk-pikuk perdebatan politis dan ekonomis kebijakan harga BBM, semua pihak terpaku pada Undang-Undang tentang APBN 2012 saja. Seolah hanya itu undang-undang yang layak dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan harga BBM. Padahal, secara normatif, ada undang-undang yang terlupakan (sengaja dilupakan), yakni UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Seharusnya, berbasis UU Energi, maka tidak akan terjadi perdebatan yang tidak diperlukan ihwal harga BBM. Sebab, UU Energi inilah yang seharusnya menjadi rujukan utama (“undang-undang payung”) bagi pemerintah dan DPR dalam menggulirkan kebijakan energi nasional, termasuk dalam hal kebijakan harga BBM. Dengan gamblang UU Energi menyebutkan bahwa harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan (Pasal 7 ayat 1). Boleh jadi pasal semacam ini akan dihantam dengan isu pasal neolib, alias kental dengan kepentingan asing. Lagi-lagi, klaim semacam ini juga kurang tepat. Sebab, Pasal 7 ayat 1 tidak serta-merta hanya mengacu pada keekonomian an sich, tetapi diikuti dengan kata “berkeadilan”. Konteks berkeadilan dimaksud dengan gamblang dijawab dengan ketentuan berikutnya bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak mampu (Pasal 7 ayat 2).
Dengan demikian, sekalipun basisnya harga keekonomian, tidak kemudian harga energi mengharamkan subsidi. Tetapi, amanat UU Energi juga menegaskan bahwa subsidi hanya diberikan kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu. Pertanyaan krusialnya, siapakah yang dimaksud kelompok masyarakat yang tidak mampu? Jelas bukan pengguna kendaraan pribadi yang dimaksud, yang selama ini menikmati lebih dari 90 persen BBM bersubsidi. Jika mengacu pada standar Badan Pusat Statistik, maka yang dimaksud kelompok masyarakat yang tidak mampu (miskin) adalah masyarakat yang berpenghasilan Rp 18.500 per hari. Atau, di bawah 2 US$ per hari kalau mengacu pada standar World Bank. Sangat tidak masuk akal kalau pengguna kendaraan pribadi digolongkan sebagai masyarakat yang tidak mampu (miskin), sekalipun itu pengguna kendaraan pribadi roda dua (sepeda motor).
Namun Selain pembatasan BBM, langkah lain yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut tanpa ada pembatasan. Artinya tidak perlu ada klasifikasi konsumen. Semua bisa membeli BBM bersubsidi dengan harga yang telah dinaikkan. Akan tetapi opsi kenaikan ini tampaknya telah dimentahkan sendiri oleh pemerintah lewat UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang  dalam Pasal 7 Ayat 6 menyatakani, “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Hal ini membuat pemerintah menjadi leluasa untuk memilih opsi pembatasan BBM bersubsidi dibanding menaikan harganya. Padahal, penyebab utama kegagalan subsidi pemerintah sejak dulu adalah karena tidak tepatnya sasaran subsidi tersebut, di mana yang menikmatai BBM bersubsidi tidak hanya rakyat miskin, tapi kebanyakan malah orang kaya. Ketidaktepatan sasaran ini bukan tidak mungkin bakal berulang dalam program pembatasan BBM bersubsidi, oleh karena tidak adanya kriteria yang jelas siapa yang pantas disebut masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, bila indikatornya hanyalah kepemilikan mobil secara umum.


http://www.ylki.or.id/politisasi-versus-harga-keekonomian-bbm.html
http://pasardana.com/tag/opini/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut