Di tengah hiruk-pikuk perdebatan
politis dan ekonomis kebijakan harga BBM, semua pihak terpaku pada
Undang-Undang tentang APBN 2012 saja. Seolah hanya itu undang-undang yang layak
dijadikan dasar untuk mengambil kebijakan harga BBM. Padahal, secara normatif,
ada undang-undang yang terlupakan (sengaja dilupakan), yakni UU Nomor 30 Tahun
2007 tentang Energi.
Seharusnya, berbasis UU Energi,
maka tidak akan terjadi perdebatan yang tidak diperlukan ihwal harga BBM.
Sebab, UU Energi inilah yang seharusnya menjadi rujukan utama (“undang-undang payung”)
bagi pemerintah dan DPR dalam menggulirkan kebijakan energi nasional, termasuk
dalam hal kebijakan harga BBM. Dengan gamblang UU Energi menyebutkan bahwa
harga energi ditetapkan berdasarkan nilai keekonomian berkeadilan (Pasal 7 ayat
1). Boleh jadi pasal semacam ini akan dihantam dengan isu pasal neolib, alias
kental dengan kepentingan asing. Lagi-lagi, klaim semacam ini juga kurang
tepat. Sebab, Pasal 7 ayat 1 tidak serta-merta hanya mengacu pada keekonomian an
sich, tetapi diikuti dengan kata “berkeadilan”. Konteks berkeadilan
dimaksud dengan gamblang dijawab dengan ketentuan berikutnya bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah menyediakan dana subsidi untuk kelompok masyarakat tidak
mampu (Pasal 7 ayat 2).
Dengan demikian, sekalipun
basisnya harga keekonomian, tidak kemudian harga energi mengharamkan subsidi.
Tetapi, amanat UU Energi juga menegaskan bahwa subsidi hanya diberikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak mampu. Pertanyaan krusialnya, siapakah yang
dimaksud kelompok masyarakat yang tidak mampu? Jelas bukan pengguna kendaraan
pribadi yang dimaksud, yang selama ini menikmati lebih dari 90 persen BBM
bersubsidi. Jika mengacu pada standar Badan Pusat Statistik, maka yang dimaksud
kelompok masyarakat yang tidak mampu (miskin) adalah masyarakat yang
berpenghasilan Rp 18.500 per hari. Atau, di bawah 2 US$ per hari kalau mengacu
pada standar World Bank. Sangat tidak masuk akal kalau pengguna kendaraan
pribadi digolongkan sebagai masyarakat yang tidak mampu (miskin), sekalipun itu
pengguna kendaraan pribadi roda dua (sepeda motor).
Namun Selain pembatasan BBM,
langkah lain yang bisa ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menaikkan harga
BBM bersubsidi tersebut tanpa ada pembatasan. Artinya tidak perlu ada
klasifikasi konsumen. Semua bisa membeli BBM bersubsidi dengan harga yang telah
dinaikkan. Akan tetapi opsi kenaikan ini tampaknya telah dimentahkan sendiri
oleh pemerintah lewat UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang dalam
Pasal 7 Ayat 6 menyatakani, “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami
kenaikan”. Hal ini membuat pemerintah menjadi leluasa untuk memilih opsi
pembatasan BBM bersubsidi dibanding menaikan harganya. Padahal, penyebab utama
kegagalan subsidi pemerintah sejak dulu adalah karena tidak tepatnya sasaran
subsidi tersebut, di mana yang menikmatai BBM bersubsidi tidak hanya rakyat
miskin, tapi kebanyakan malah orang kaya. Ketidaktepatan sasaran ini bukan
tidak mungkin bakal berulang dalam program pembatasan BBM bersubsidi, oleh
karena tidak adanya kriteria yang jelas siapa yang pantas disebut masyarakat
berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi, bila indikatornya hanyalah
kepemilikan mobil secara umum.
http://www.ylki.or.id/politisasi-versus-harga-keekonomian-bbm.html
http://pasardana.com/tag/opini/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar