Sabtu, 14 April 2012

SIAPA YANG SEBAIKNYA MENENTUKAN KEHALALAN DARI SEGI EKONOMI?

Sistem jaminan halal adalah proses yang standar, namun uniknya halal sendiri bukanlah standar. Keputusan halal merupakan fatwa dari ulama suatu negara atas barang, proses atau jasa yang menyangkut keyakinan (dalam hal ini islam). Sehingga yang menentukan halal itu sejatinya bukan pemerintah, pengusaha atau lembaga terrentu. Halal ditentukan oleh ulama setelah ditelaah secara ilmiah oleh para ahli yang dinaungi dalam suatu lembaga, dalam hal ini adalah LPPOM MUI jika di Indonesia.
LPPOM MUI bertugas untuk menganalisa dan menjamin bahwa suatu produk dijamin kehalalalnya selama proses produksinya berlangsung. Proses ini lah yang dibawa LPPOM MUI untuk dimintakan pendapat kehalalalanya pada MUI.  Sistem JPH LPPOM MUI merupakan sistem sertifikasi halal yang paling baik di dunia. Mengenai diakui atau tidaknya, tidak semua negara mengakuinya, tetapi pada dasarnya sertifikasi LPPOM MUI ini memiliki jumlah negara yang paling banyak diakui di dunia. Berikut logo gambar halal yang diterbitkan oleh MUI :
Mengenai standar sertifikasi yang berbeda ditiap negara perlu dipahami sebagai perbedaan pemahaman terhadap konsepsi kehalalalan secara syar’i dan juga terdapat beberapa perbedaan kepentingan perdagangan yang melandasinya. Malaysia misalnya, walaupun standarnya tidak seketat Indonesia tapi banyak negara mengakui sistemnya karena kemampuan advokasi internasionalnya demi kepentingan perdagangan internasionalnya.
KOMITMEN PENGEMBANGAN HALAL
     Selama ini komitmen pemerintah dalam pengembangan produk halal masih minim. Jika dibandingkan dengan negara lain khususnya Malaysia, Singapura dan Thailand, agroindustri halal mereka sudah menjadi bagian dari rencana pembangunan industri nasionalnya. Pada umumnya selain memandang halal sebagai langkah perlindungan terhadap konsumen muslim, negara-negara ini benar-benar menghitung potensi keuntungan bisnisnya yang dapat diraih dalam jangka panjang.
      Komitmen pemerintah Indonesia terhadap agroindustri halal nasional yang cenderung rendah tentunya mengakibatkan jaminan pangan halal di Indonesia cukup memprihatinkan. Hadirnya RUU Halal yang baru dari segi visinya saja hanya melindungi konsumen dalam negeri berbeda dari negara lain yang berupaya melakukan ekspansi pasar internasional termasuk pasar Indonesia yang merupakan pasar halal terbesar di dunia. Belum lagi RUU JPH yang sekarang dirumuskan cenderung bertujuan jangka pendek dengan tujuan peningkatan pendapatan melalui labelisasi halal. Ditambah lagi dengan penetepan pemerintah sebagai regulator sekaligus sertifikator. Bagaimanapun seorang wasit tidak akan pernah bisa ikut bermain.
       Koordinasi kelembagaan yang ada di Indonesia (termasuk kewenangan dan anggarannya), LPPOM MUI, BPPOM, dan berbagai kementrian memang belum punya format yang efisien dan efektif untuk melayani masyarakat.  Kelembagaan menjadi sulit dikuatkan karena unsure politis yang terlalu kuat. Namun secara akademins kita dapat mengkaji bahwa, bagaimana pemerintah dapat berkoordinasi jika ”halal” masih dipahami sebagai hal tradisionals ebagai pemenuhan kebutuhan agama tertentu ketimbang dilihat sebagai patok mutu tertinggi. Pemerintah dan berbagai kalangannya juga beluam paham akan goal yang ingin dicapai, hal ini karena tidak ada satupun kebijakan yang mengarahkan pembangunan agroindustri halal indonesia. Perlunya sebuah kebijakan strategis yang mengarahkan cakupan kewenangan antarkelompok institusi yang ada yang berasama-sama memiliki keinginan untuk membangun agroindustri halal Indonesia yang mampu bersaing di pasar global, tidak semata-mata hanya menang di dalam negeri dalam rentang waktu yang pendek.

http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2011/04/26/posisi-halal-terhadap-standar-mutu-lain-dan-komitmen-pemerintah-pada-pengembangannya/
http://www.mediasriwijaya.com/2012/04/label-halal-antara-syariah-politik-dan.html

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut