Kamis, 19 April 2012

PENGAKUAN HUKUM UNTUK HAK KEBENDAAN ATAU HAK MILIK



A. Dalam Perspektif Hukum Islam
A.I. Hak milik umum
Hak milik umum adalah hukum syar`I yang terkandung dalam suatu barang atau kegunaan yang menuntut adanya kesempatan seluruh manusia secara umum atau salah seorang diantara mereka untuk memanfaatkan dan menggunakan dengan jalan penguasaan. Menurut Al-Kailani hak milik umum ini sama saja dengan hak milik negara. Berbeda dengan Zallum yang membedakan antara hak milik umum dan hak milik negara meskipun keduanya dikelola oleh negara. Menurutnya, hak milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan oleh negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang untuk mengambil dan memanfaatkannya, seperti: air, tambang, padang rumput. Sedangkan dalam hak milik negara, negara berhak untuk memberikan hak tersebut kepada siapapun yang dikehendaki sesuai dengan kebijakan negara, seperti: tanah tak bertuan, padang pasir, gunung.
Sumber-sumber hak milik umum berkisar pada: wakaf, tanah hima (tanah tak bertuan yang diputuskan oleh negara penggunaanya bagi masyarakat umum), barang tambang , kebutuhan primer seperti air dan rumput, zakat, pajak, seperlima harta rampasan perang, dan lain-lain. Seperti halnya dalam hak milik pribadi, hak milik umum juga terdapat di dalamnya aturan main dalam penggunaannya. Dan aturan inti yang harus ditepati adalah penggunaan hak milik umum tidak boleh merugikan pihak lain yang juga berhak atas hak ini, dan juga tidak boleh melanggar maslahat umum. Negara sebagai pengelola hak milik umum tidak boleh memperluas cakupan hak milik umum yang telah ditetapkan oleh syariat, semisal negara tidak boleh memperluas hak milik umum yang berasal dari zakat untuk selain 8 golongan yang telah ditentukan oleh syariat. Di sisi lain, negara diperbolehkan untuk memperluas atau mempersempit cakupan hak ini sesuai dengan maslahat umum. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika mengkhususkan padang rumput yang tak bertuan untuk kuda-kuda tentara.

A.II. Hak milik pribadi
Definisi hak milik pribadi dalam ekonomi islam adalah suatu hukum syariat atas suatu barang atau manfaat yang memberikan hak kepada orang yang dinisbatkan kepadanya untuk menggunakan barang atau manfaat tersebut. Dari definisi ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa timbulnya hak milik bukan dari dzatnya suatu barang, melainkan timbul karena izin Syari` (Allah).

B. Dari Segi Hukum Indonesia
Untuk menciptakan kepastian hukum  selain diperlukan perangkat hukum yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum sebagai kaidah penilai[1]. 
Dengan adanya ketentuan  yang tumpang tindih, demikian pula banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka  perlu pula dilakukan penelitian mengenai prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah, prinsip hukum dalam pembangunan perumahan dan penormaannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang perumahan.
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.[2] Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika bicara mengenai sistem yaitu:
1.      Adanya satu kesatuan yang bersifat komplek
2.      Adanya bagian-bagian atau  komponen-komponen
3.      Bagian-bagian atau komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4.      Bekerjanya komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan tersebut
Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka peraturan-peraturan yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem[3]. Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai tujuan.  Koesnoe mengemukakan bahwa dalam sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee yang dianut negara kita.[4]
Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda  sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian jelas  bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan  Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku badan penguasa”.
Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”[5]. 
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah.  Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa  hak ulayat adalah  kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa yang pada tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa.[6]
Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:[7]
  1. Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak dasar  manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh  bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika ini terjadi maka merupakan bentuk pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam hal seseorang  mau  melepas haknya maka mereka harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas  pengorbanannya tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan terhadap hak-hak orang lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua peraturan yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika pendelegasian kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan  konflik kepentingan.

Wewenang  pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan, sedangkan arti pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.[8]





[1] J.J.H. Bruggink,, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 193
[2] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Cet.  Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 48
[3] Ibid. h. 49
[4] Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat, Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan, 2002 h.58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut