A. Dalam Perspektif Hukum Islam
A.I. Hak milik umum
Hak milik umum adalah
hukum syar`I yang terkandung dalam suatu barang atau kegunaan yang menuntut
adanya kesempatan seluruh manusia secara umum atau salah seorang diantara
mereka untuk memanfaatkan dan menggunakan dengan jalan penguasaan. Menurut
Al-Kailani hak milik umum ini sama saja dengan hak milik negara. Berbeda dengan
Zallum yang membedakan antara hak milik umum dan hak milik negara meskipun
keduanya dikelola oleh negara. Menurutnya, hak milik umum pada dasarnya tidak
boleh diberikan oleh negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan
kepada orang untuk mengambil dan memanfaatkannya, seperti: air, tambang, padang
rumput. Sedangkan dalam hak milik negara, negara berhak untuk memberikan hak
tersebut kepada siapapun yang dikehendaki sesuai dengan kebijakan negara,
seperti: tanah tak bertuan, padang pasir, gunung.
Sumber-sumber hak
milik umum berkisar pada: wakaf, tanah hima (tanah tak bertuan yang diputuskan
oleh negara penggunaanya bagi masyarakat umum), barang tambang , kebutuhan
primer seperti air dan rumput, zakat, pajak, seperlima harta rampasan perang,
dan lain-lain. Seperti halnya dalam hak milik pribadi, hak milik umum
juga terdapat di dalamnya aturan main dalam penggunaannya. Dan aturan inti yang
harus ditepati adalah penggunaan hak milik umum tidak boleh merugikan pihak
lain yang juga berhak atas hak ini, dan juga tidak boleh melanggar maslahat
umum. Negara sebagai pengelola hak milik umum tidak boleh memperluas cakupan
hak milik umum yang telah ditetapkan oleh syariat, semisal negara tidak boleh
memperluas hak milik umum yang berasal dari zakat untuk selain 8 golongan yang
telah ditentukan oleh syariat. Di sisi lain, negara diperbolehkan untuk
memperluas atau mempersempit cakupan hak ini sesuai dengan maslahat umum.
Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika mengkhususkan padang rumput
yang tak bertuan untuk kuda-kuda tentara.
A.II. Hak milik pribadi
Definisi hak milik pribadi
dalam ekonomi islam adalah suatu hukum syariat atas suatu barang atau manfaat
yang memberikan hak kepada orang yang dinisbatkan kepadanya untuk menggunakan barang
atau manfaat tersebut. Dari definisi ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa
timbulnya hak milik bukan dari dzatnya suatu barang, melainkan timbul karena
izin Syari` (Allah).
B. Dari Segi Hukum
Indonesia
Untuk
menciptakan kepastian hukum selain
diperlukan perangkat hukum yang jelas, konsisten dalam penggunaan konsep juga
harus didasarkan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal. Sebagaimana
diketahui bahwa prinsip hukum memegang fungsi ganda yakni sebagai fondasi dari
hukum positif dan sebagai batu uji terhadap hukum positif itu karena prinsip hukum
sebagai kaidah penilai[1].
Dengan
adanya ketentuan yang tumpang tindih,
demikian pula banyaknya permasalahan yang terjadi dalam implementasinya, maka perlu pula dilakukan penelitian mengenai
prinsip hukum dalam perolehan hak atas tanah, prinsip hukum dalam pembangunan
perumahan dan penormaannya dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perumahan.
Sistem adalah suatu kesatuan yang bersifat komplek, yang
terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai
tujuan pokok dari kesatuan tersebut.[2]
Dari pengertian tersebut maka dapat diambil berbagai unsur yang ada ketika
bicara mengenai sistem yaitu:
1.
Adanya satu
kesatuan yang bersifat komplek
2.
Adanya
bagian-bagian atau komponen-komponen
3.
Bagian-bagian atau
komponen-komponen tersebut saling bekerjasama
4.
Bekerjanya
komponen-komponen itu untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh kesatuan
tersebut
Dalam pembicaraan mengenai sistem hukum, maka
peraturan-peraturan yang nampaknya berdiri sendiri itu sebenarnya diikat oleh
beberapa pengertian yang lebih umum sifatnya yakni prinsip hukum. Dengan adanya
ikatan oleh prinsip atau asas hukum ini maka hukum pun merupakan suatu sistem[3].
Karena merupakan suatu sistem maka peraturan yang dibuat antara satu dengan
yang lain harus sinkron baik secara vertikal maupun horisontal, untuk mencapai
tujuan. Koesnoe mengemukakan bahwa dalam
sistem tata hukum kita maka baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan
yang tidak tertulis beserta segala peraturan pelaksanaannya, diwajibkan untuk
selalu mengikuti dan berjiwa rechtsidee
yang dianut negara kita.[4]
Dalam sistem hukum pertanahan kita maka antara peraturan
hukum pertanahan yang satu dengan peraturan yang lain tidak boleh bertentangan
demi mencapai tujuan yang dikehendaki Berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai maka tidak
terlepas dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional
politik hukum pertanahan nasional yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagaimana
yang dimaksudkan dalam Pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Sebagaimana diketahui
bahwa Asas domein yang dianut pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana dimuat dalam Agrarisch Besluit
Stb. 1870/118, memposisikan Negara sebagai pemilik tanah. Hal demikian
jelas bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyat Indonesia dan asas negara yang merdeka dan modern. Berdasarkan Penjelasan Umum Angka II Butir (2) UUPA
dikemukakan “tidaklah perlu dan tidaklah pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia
atau Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara,
sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) Indonesia bertindak selaku
badan penguasa”.
Hak menguasai negara tersebut bersumber dari hak bangsa
Indonesia. Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPA dinyatakan bahwa seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUPA ini tidak terlepas
dari konsepsi hukum adat yakni “komunalistik religius yang memungkinkan
penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat
pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan”[5].
Sebagaimana diketahui bahwa hukum pertanahan kita
dasarnya adalah hukum adat. Dalam hukum adat hak ulayat adalah hak penguasaan
tanah yang tertinggi. Hak ulayat merupakan hak bersama masyarakat hukum adat
atas tanah. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat, menyebutkan dalam Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut adat dipunyai oleh
masyarakat adat tertentu atas wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan
secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat
hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud
tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat hukum adat tertentu.
Kewenangan negara tersebut dipahami dalam kerangka
hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai
hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti halnya yang terjadi di
negara barat dan komunis. Negara dalam hal ini sebagai badan penguasa yang pada
tingkat tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta
menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan
tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus bertanggung jawab kepada
masyarakat sebagai pemberi kuasa.[6]
Kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal yakni:[7]
- Dibatasi oleh oleh UUD 1945, bahwa hal-hal yang
diatur oleh negara tidak boleh bertentangan atau melanggar hak-hak
dasar manusia yang dijamin oleh UUD
1945. Misalnya peraturan yang dibuat tidak boleh bias terhadap suatu kepentingan dan
menimbulkan kerugian di pihak lain. Jika ini terjadi maka merupakan bentuk
pelanggaran terhadap UUD 1945. Dalam hal seseorang mau
melepas haknya maka mereka harus mendapat perlindungan hukum dan
penghargaan yang adil atas
pengorbanannya tersebut. Prinsip pengakuan atau penghormatan
terhadap hak-hak orang lain itu harus dirumuskan secara tegas dan jelas
dalam peraturan perundang-undangan.
- Pembatasan yang bersifat substantif dalam arti
peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak
dicapai. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (3) UUPA maka semua
peraturan yang dibuat harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Kewenangan ini tidak dapat didelegasikan pada organisasi swasta
karena menyangkut kesejahteraan rakyat yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak
swasta merupakan bagian dari masyarakat juga, sehingga jika pendelegasian
kepada swasta tersebut dilakukan maka akan menimbulkan konflik kepentingan.
Wewenang
pengaturan oleh negara itu ditujukan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Arti dari sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah kemakmuran
untuk sebanyak mungkin orang tanpa melanggar hak dan keadilan, sedangkan arti
pentingnya kesejahteraan dalam hubungannya dengan pemanfaatan tanah karena
tujuan negara untuk melengkapi dan mendukung usaha masyarakat.[8]
[1] J.J.H. Bruggink,, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidarta, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999, h. 193
[2]
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum,
Cet. Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2006, h. 48
[3] Ibid. h. 49
[4] Koesnoe, Kapita Selekta Hukum Adat, Suatu Pemikiran Baru, Varia Peradilan,
2002 h.58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar