Sabtu, 05 Mei 2012

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT ( BAB 13 )


1.     Pengertian 

Ada beberapa pengertian monopoli yang diartikan beberapa
Kalangan; Black’s Law Dictionary mengartikan monopoli sebagai “a peveilege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right ( or power ) to carry on a particular article, or control yhe sale of whole supply of a particular commodity ” . (Henry Champbell Black,1990 : 696)
Secara etimologi, kata “monopoli” berasal dari kata Yunani ‘Monos’ yang berarti sendiri dan ‘Polein’ yang berarti penjual. Dari akar kata tersebut secara sederhana orang lantas memberi pengertian monoopli sebagai suatu kondisi dimana hanya ada satu penjual yang menawarkan (supply) suatu barang atau jasa tertentu. (Arie Siswanto:2002)
Persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang begitu takjub akan keberhasilan sistim ekonomi pasar yang lebih mengedepankan persaingan ini. Sehingga regulasi yang dikembangkan dan dihasilkanpun lebih mengarah pada praktek liberalisme. Produk legislasi yang mengarah pada sistem ekonomi pasar bebas ini tidak dapat dilepaskan dari peran IMF sebagi lembaga donor yang dibutuhkan Indonesia guna melepaskan diri dari krisis ekonomi dunia yang melanda negara kita pada saat itu.
Perkembangan produk legislasi yang mengarah pada pasar bebas terus berlanjut sehingga berakibat banyak produk asing yang bebas masuk pasar Indonesia. Masuknya produk asing dalam jumlah besar telah mematikan industri lokal yang tidak mampu bersaing baik dari segi mutu maupun harga, serta masuknya pedagang dengan modal besar telah berhasil menggeser peran pedagang kecil di kampong-kampung menjadi tidak mampu berdagang lagi karena pelanggannya telah pindah ketempat yang menawarkan kenyamanan dan kemewahan dalam berbelanja.
Pelaksanaa

2.     Azas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

3.     Kegiatan yang Dilarang
Dalam pasal 17 ayat (1) Undang- undang Anti Monopoli dikatakan bahwa “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat”, sedangkan dalam pasal 17 ayat (2) dikatakan bahwa “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
  • Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;atau
  • Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama;atau
  • Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha mengusasai lebih dari 50 % (lima puluh persen ) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

4. Perjanjian yang Dilarang
Sedangkan Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :
Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :
a) Oligopoli;
b) Penetapan harga;
c) Pembagian Wilayah;
d) Pemboikotan;
e) Kartel;
f) Trust;
g) Integrasi vertical;
h) Perjanjian tertutup;
i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.

Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan- kegiatan sebagai berikut:
a) Monopoli;
b) Monopsoni;
c) Penguasaan pasar;
d) Persekongkolan;
UU No. 5 Tahun 1999 mengatur larangan persekongkolan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki dampak negatif baik secara aktual maupun potensial terhadap persaingan. Ketentuan hukum yang melarang persekongkolan sebagaimana disebut sebelumnya diatur dalam Bagian Keempat tentang Persekongkolan yang meliputi:

a. Persekongkolan dalam tender (Pasal 22)
b. Persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23)
c. Persekongkolan untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran pesaingnya

(Pasal 24)
Dalam Pedoman ini pembahasan difokuskan pada penjelasan atas ketentuan larangan persekongkolan untuk memperoleh rahasia perusahaan pesaing (persekongkolan informasi)
(Pasal 23).
Pasal 23 berbunyi sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Pasal 23 melarang pelaku usaha untuk melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk memperoleh informasi mengenai kegiatan usaha pesaing yang diklasifikan sebagai rahasia perusahaan.
Pendekatan yang digunakan dalam Pasal 23 ini adalah pendekatan rule of reason yang melihat dan memperhatikan dampak atau efek yang ditimbulkan dari persekongkolan tersebut terhadap persaingan.




4.     Hal – Hal yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999) merupakan sesuatu yang dilarang, akan tetapi karena pada perjanjian waralaba terdapat HKI yang merupakan hak eksklusif, maka UU No. 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian untuk tidak memberlakukan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan  dengan waralaba.
Pengecualian terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba diatur dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999.   Pasal 50 huruf b menjelaskan bahwa semua perjanjian yang berkaitan dengan waralaba dikecualikan terhadap Undang-undang No. 5 Tahun 1999. Namun dalam praktek ternyata terdapat perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam katagori perjanjian waralaba yang dikecualikan, karena perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem bisnis waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi waralaba kepaga penerima waralaba. Sedangkan mengenai perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun berkaitan dengan waralaba tidak dikecualikan.



6.  Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU )

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
  1. Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
  2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
  3. Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.



7.  Sanksi

KPPU sebagai lembaga pengawas persaingan usaha yang diberi kewenangan melalui UU No. 5 Tahun 1999 dapat memberikan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Sanksi administratif tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu:
a.       Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau
b.      Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau
c.   Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau
d.      menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat dan atau merugikan masyarakat
e.       Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau
f.   Penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
g.      Penentapan pembayaran ganti rugi
h.  Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 dan setinggi-tingginya 25.000.000.000,00


           KPPU sudah berkali-kali mengeluarkan putusan dengan sanksi pembayaran denda yang bervariasi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar UU No. 5 Tahun 1999. Banyak pihak yang mempertanyakan justifikasi yuridis atas pengenaan denda yang ditetapkan oleh KPPU dan dasar perhitungan yang dilakukan oleh KPPU dalam menetapkan besaran suatu denda. Untuk itu, KPPU telah mengeluarkan Pedoman tentang sanksi administratif termasuk perhitungan sanksi denda yang tertuang dalam Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 252/KPPU/Kep/VII/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasa 47 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU dalam menjatuhkan besaran sanksi denda sangat bervariasi yang penentuannya ada di tangan Majelis Komisi yang menangani perkara tersebut. Yang perlu untuk digarisbawahi adalah pengenaan denda oleh KPPU bertujuan untuk mencegah berulangnya pelanggaran yang sama di kemudian hari. Denda diharapkan menjadi insentif bagi pelaku usaha dalam melakukan kegiatan bisnisnya agar senantiasa mematuhi ketentuan-ketentuan dalam UU No. 5 Tahun 1999.




PERLINDUNGAN KONSUMEN ( BAB 12 )


Dalam mata kuliah aspek hokum dalam ekonomi, pada bab ke 12 berisikan materi tentang Perlidungan Konsumen, berikut ringkasan yang saya buat berdasarkan 7 sub pokok bahasan. Dan ringkasan ini saya ambil berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN


    1.     Pengertian Konsumen

       Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Konsumen hendaknya jangan diposisikan sebagai korban produk dan pelayanan. Di dalam kekurangan produk yang dibeli dan pelayanan yang diterima, konsumen memiliki hak menolak dan menggugat, serta mendapatkan kompensasi.
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec menyatakan sejauh ini konsumen cenderung diam atas kekurangan produk yang dibeli atau pelayanan yang merugikannya, karena jaminan atas hak-hak konsumen belum berpihak kepada konsumen.  


2.     Azas dan Tujuan
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan:
  1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
  3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Asas-asas dalam perlindungan konsumen yaitu :
  • Asas Manfaat.
Untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha.
  • Asas Keadilan.
Agar partisipasi seluruh masyarakat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
  • Asas Keseimbangan.
Untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil atau pun spiritual.
  • Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen.
Untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan jasa yang digunakan.
  • Asas Kepastian Hukum.
Agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.


     3.     Hak dan Kewajiban Konsumen

      Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenai Hukum: Suatu Pengantar menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi.

Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah:
  1. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa;
  2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
  3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
  4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan;
  5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
  6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
  7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  8. hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
  9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah:
  1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; Tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali konsumen tidak memperoleh manfaat yang maksimal, atau bahkan dirugikan dari mengkonsumsi suatu barang/jasa. Namun setelah diselidiki, kerugian tersebut terjadi karena konsumen tidak mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian yang telah disediakan oleh pelaku usaha.
  2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; Tak jarang pula konsumen tidak beritikad baik dalam bertransaksi atau mengkonsumsi barang. Hal ini tentu saja akan merugikan khalayak umum, dan secara tidak langsung si konsumen telah merampas hak-hak orang lain.
  3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; Ketentuan ini sudah jelas, ada uang, ada barang.
  4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, patut diartikan sebagai tidak berat sebelah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

     4.     Hak dan kewajiban Pelaku Usaha

      Pelaku Usaha merupakan setiap orang perseorangan atau badan hukum yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah:
  1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
  3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
  4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
  5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah:
  1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
  2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
  3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
  4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
  5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
  6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
  7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. 


     5.     Kalusula Baku dalam Perjanjian

Apabila pelaku usaha melanggar ketentuan mengenai pencantuman klausul baku, maka sebagai konsekuensi atas pelanggaran tersebut, berdasarkan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen klausul baku, apa saja yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha, pada dokumen atau perjanjian kedua pihak itu, yang memuat ketetntuan yang dilarang dalam pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dinyatakan batal demi hokum. Hal ini tentunya akan mengakibatkan klausul baku tersebut, dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat para pihak, yaitu pelaku usaha dan konsumen, dalam melaksanakan transaksi perdagangan barang dan atau jasa tersebut. Hal konsumen antara lain adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa.
  1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
  2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
  3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum.
  4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.


     6.     Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UU tentang perlindungan kosumen diatur khusus dalam satu bab, yaitu bab VI, mulai dari pasal 19 samapai dengan pasal 28, dari sepuluh pasal tersebut dapat dipilah sebagai berikut: 1. Tujuh pasal yaitu 19, 20, 21, 24, 25, 26, dan 29 yang mengatur tentang tangung jawab pelaku usaha. 2. Dua pasal, yaitu pasal 22 dan 28 yang mengatur masalah pembuktian. 3. Satu pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yaitu terdapat dalam pasal 23. Pada dasarnya tanggung jawab pelaku usaha menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, terbagi atas: 1. Tanggung jawab produk (product liability) Menurut Agnes M. Toar tanggung jawab produk diartikan sebagai: “tanggung jawab para produsen prduk yang dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut, (produk ini diartikan sebagai barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak)”.
Tanggung jawab produk ini bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdsarkan Undang –undang (gugatannya atau berdasarkan Undang –undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum. 2. Tanggung jawab professional Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan dengan produk barang, maka tanggung jawab professional adalah tanggung jawab hukum dalam hubungan jasa professional yang diberikan kepada klien. Sama seperti tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak memeuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.


      7.     Sanksi
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
  1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
  2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
  3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
  1. Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c, ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
  3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
  1. perampasan barang tertentu;
  2. pengumuman keputusan hakim;
  3. pembayaran ganti rugi;
  4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
  5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
  6. pencabutan izin usaha.

Pengikut