BAB I. Pendahuluan
Pada tahun 2012 ini memang direncanakan
adanya kenaikan bbm, dan rencana kenaikan tersebut, dengan ekspektasi inflasi
dan kesejahteraan petani saling berhubungan. Baru adanya rencana kenaikan bbm,
barang barang pangan sudah banyak yang menaikkan harga. Dan belum lagi jika bbm
jadi dinaikkan, laju inflasi pun diperkirakan akan naik. Belum lagi
kesejahteraan para petani yang dikhawatirkan akan menjadi sulit untuk
memperoleh bahan bahan pokok. Pembahasan di bawah ini saya ambil dari Penulis
yaang bernama Bustanul Arifin.
BAB II. Pembahasan
A.
Analisis Ekonomi (Bbm,
ekspektasi inflasi, & kesejahteraan petani)
Oleh :
Bustanul Arifin
Sebagaimana
diketahui, harga eceran bahan bakar minyak bersubsidi di dalam negeri tidak
jadi naik pada awal April ini. Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui
besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan
defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan
sebesar Rp 1.500 per liter. Keputusan
politik yang diambil pada Jumat dini hari itu akhirnya memberikan diskresi
kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP)
mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan
posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah
mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012
jika harga ICP tetap bertahan tinggi.
Di satu sisi,
masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun
harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang
sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat
memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan
Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi telah dimulai.
Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga
BBM kelak jadi dinaikkan. Telah banyak
bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi
tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan
inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung
menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti.
Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan
pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil
atau negatif.
Pengalaman
empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain
melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi
menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras
kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi
pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini,
laju inflasi diperkirakan naik juga pada rentang musim kemarau tersebut karena
panen padi telah selesai. Hanya sejumlah kecil petani yang mampu melakukan
penyimpanan untuk keperluan pada musim paceklik.
Pada Senin
ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka
ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting
lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada
periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu
September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari
65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus
beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini
tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.
Kalangan awam
pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi, apalagi jika disertai kenaikan harga
BBM, akan menambah biaya pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran
yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan
kecenderungan memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif
pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak
baik diderita petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan
petani hortikultura (turun 0,23 persen).
Persoalan
klasik di lapangan belum dapat ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor
produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan
lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana
kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit
memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan
penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi
nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah
pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran
naik.
Tidak perlu
disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata karena
sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija hanya
menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini benar-benar
menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran,
apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud
dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.
Demikian pula
dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan,
sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi,
lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan
harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru
sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang
cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun
2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya
menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak
yang demikian masif.
Rencana
strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp
150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh
untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya,
pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk secara serius menyempurnakan
skema perlindungan yang memadai bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.
Demikian pula
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras
dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara
administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan
persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan
langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan
petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.
Analisisnya :
Dari tulisan
di atas memang benar , di ambil dari sebuah berita Jakarta–Bank Indonesia (BI) melihat ekspektasi
inflasi akibat rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah terjadi.
Bank sentral sendiri memerkirakan inflasi di tahun 2012 bisa sekitar 6,6%
dengan tidak adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan apabila kenaikan
BBM ditetapkan sebesar Rp1.500.
“Perkirakan
kita, ini kan TDL tidak jadi. Jadi sebenarnya kalau pun BBM jadi
dinaikkan tanpa TDL naik inflasi bisa di bawah 7,1%. Bahkan bisa di bawah
6,8% bila kenaikan cuma Rp1.500. Itu bisa 6,6%,” ujar Gubernur BI Darmin
Nasution, di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 12 April 2012. Sebelumnya
bank sentral telah melakukan pengitungan dari rencana kenaikan BBM yang
sedianya dilakukan pemerintah pada 1 April lalu. Sesuai masing-masing
skenario yang dipunyai pemerintah, tingkat inflasi 2012 bisa mencapai 6,8% atau
7,1%.
“Kita sudah
gambarkan kalau tidak ada kenaikan BBM, inflasi itu 4,4%. Apabila ada perubahan
kebijakan mengenai harga BBM, maka inflasi akan bertambah 2,4% kalau BBM naik
Rp1.500, dan bertambah 2,7% kalau subsidi dibatasi hanya Rp2.000 per liter,”
jelas Darmin. Namun,
lanjutnya, pada kenyataan dengan adanya ekspektasi inflasi yang kadung terjadi
akibat rencana kenaikan BBM, ini masih akan terjadi ke depan bila tidak jelas
kapan kenaikan tersebut terjadi.
“Jadi,
ekspektasinya akan tergantung harga naik, kapan naiknya. Kalau naiknya Juni,
itu kita lihat ekspektasinya. Nah, tiap bulan itu lain lagi. Sebenarnya kita
prediksi tanpa kenaikan BBM dan adanya ekspektasi inflasi yang ditimbulkan,
inflasi tahun ini bisa 4,3%,” tuturnya.
Ia
menambahkan, kita lihat pada minggu pertama bulan April, yang tahun lalu masih
terjadi deflasi, namun pada tahun April tahun ini dari survei kita sudah mulai
terjadi inflasi. (*) dan jika belum jelasnya kenaikan BBM tetapi hargaa bahan
bahan pokok sudah meningkat, ini akan berdampak pada kesejahteraan petani. Dimana
mereka akan kesulitan mendapatkan bahan bahan pokok walaupun musim panen tiba.
BAB III. Kesimpulan
Dengan adanya rencana
kenaikan bbm, menimbulkan naiknya bahan bahan pokok. Sehingga berimbas kepada Kenaikan
harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa
lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan
drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan
semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena
spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju
inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di
daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok
pengeluaran naik.
BAB IV. Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar